Panji Tengkorak Darah 1
Panji Tengkorak Darah 1
Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Di Sadur :SD Liong Jilid 1. Panji Tengkorak Darah (Ko-lo-hiat-ki) Di bawah sinar rembulan yang menyinari lembah gunung Hun-tiong-san, sesosok tubuh terhuyung-huyung mendaki tebing jurang. Ia sudah kehabisan tenaga, tetapi tetap paksakan diri merayap ke puncak gunung. Mukanya berlumuran debu, pakaian compang-camping terkait karang tajam. Kaki dan tangannyapun penuh gurat-gurat darah dari duri semak-semak yang jahil. Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun itu rupanya seorang yang berhati keras. Dan agaknya ia tengah melaksanakan suatu tugas penting sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran dengan waktu. Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan, kepribadian pemuda itu tetap menonjol. Wajahnya cakap berseri, lengkung alis lebat yang menaungi sepasang bola matanya menambah kesemarakan yang sedap dipandang. Sinar matanya tajam jernih, mencerminkan perangai hatinya yang polos jujur. Entah apa yang tengah dikerjakannya itu! Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil membuatnya tiba di hutan kuburan tak berapa jauh dari puncak gunung. Tiba- tiba matanya terbelalak ketika tertumbuk pada sehelai panji merah yang berkibar- kibar di atas puncak gunung Hun-tiong- san itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api. Musuh besarnya sudah di depan mata. Menuntut balas! Serasa bergolaklah darah pemuda itu, semangatnya menyala kembali. Dengan membusungkan dada segera ia memaksakan diri menerobos ke dalam hutan. Tiba-tiba ia berhenti, termangu- mangu…. Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan. Semula merupakan berpuluh- puluh sinar lentera sebesar tinju. Tetapi lama kelamaan berubah merupakan sebuah pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu gerbang itu memancar sederet lampu merah yang merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat ! Pemuda itu menenangkan kegoncangan hatinya. Geramnya disertai tertawa hambar, "Setiap orang berkunjung ke pintu akhirat, di akhirat tentu tambah penghuni baru ! " “ Hm, “ ia mendengus seraya mencabut pedang yang terselip di belakang punggung, lalu melangkah lebar ke pintu gerbang itu. Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris lentera hijau yang memanjnag ke dalam hutan. Rupanya diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi para tamu. Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan tiu, samar-samar seperti tertutup kabut tebal sehingga makin menambah kerawanan hutan. Hanya bayang-bayang pohon yang tampak dan makin ke dalam makin suram tampaknya deretan lentera hijau itu. Pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dengan membusungkan dada ia melangkah maju. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara jeritan ngeri dari seorang yang tertusuk dadanya….. Betapapun ia tabahkan nyali, namun pada saat dan suasana seperti itu, mau tak mau berdirilah seluruh bulu kuduknya. Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula suara merintih seperti suasana penyiksaan dalam neraka. Dikobarkan lagi semangatnya. Sambil memanggul pedang, pemuda itu melangkah maju. Tetapi langkah kakinya sudah terhuyung-huyung, darah bergolak-golak dan pikirannyapun makin kusut. Pada saat ia tak kuat lagi mempertahankan diri, tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian ayat suci menggema. Nyanyian yang seola-olah berkumandang segar dalam telinganya. Semangatnya kembali segar pula. Beberapa saat kemudian suara rintihan iblis itupun sirap…. Ia mendongak memandang ke muka. Di antara selimut kabut, tampak 9 orang paderi berjubah merah tengah berdiri berjajar kira-kira bebrapa tombak jaraknya. Paderi tua yang memimpin rombongan tampak melantangkan komando untuk menghentikan nyanyian rombongannya. “O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku. Entah siapakah mereka itu?” pikir si pemuda. Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan sebuah makam besar tiba-tiba terbuka. Segulung asap memyemburkeluar, menyusul muncullah sesosok rangka manusia yang menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu, wajahnya seram, mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia tertawa meringkik seperti burung hantu berbunyi di tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi, “ Ah, tak kecewalah lo- siansu menjadi paderi suci dari kuil Siau- lim-si sehingga dapat bertahan menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )!”
semua halaman = 7
BACA DARI AWAL